Abstract
Abstract. Indonesia is targeted to be free of malaria in 2030 and its success is determined by the effectiveness of treatment. Riskesdas 2013 shows the effective treatment of malaria rate as 45.5%. Nationally, only 33.7% of malaria patients received the Artemisinin-based Combination Therapy (ACTs). A further analysis to Riskesdas 2013 data was performed to describe the malaria treatment variation at household-level in six provinces in Indonesia, which are Bengkulu, Maluku, North Maluku, East Nusa Tenggara, Papua, and West Papua. Data of name, type, and sources of drugs, as well as household characteristics was analysed. Total of 287 households that meet the criteria of storing and using drugs for malaria treatment was analysed. The result shows 66 types of drugs with varied sources, including 15 antimalarial drugs (i.e. ACTs, chloroquine, and sulphadoxin-pyrimethamin). Most drugs were obtained from pharmacies and drug shops/ stalls, both in urban and rural areas. Most of the poorest households choose drugstore / stalls (46.7%) for medication. On the other hand, for the wealthier groups, pharmacy is an option to get malaria drugs (48.6%). This research reveals the persistence of resistance from anti-malarial drugs (CQ and SP) in almost all sources, including drugs from official health facilities and health workers. This diverse consumption encourages an effective monitoring, evaluation, and strengthening cross-sector participation to improve knowledge, partnership between community and private sector, and the use of information technology to enhance antimalarial drugs supply management in primary health care. An appropriate form of intervention is substantial to improve the malaria treatment coverage in Indonesia. Keywords: malaria, anti-malarial, drug variation, drug source, Indonesia Abstrak. Indonesia ditargetkan terbebas dari malaria pada tahun 2030, salah satu keberhasilannya ditentukan oleh efektifitas pengobatan. Riskesdas 2013 menunjukkan tingkat pengobatan efektif malaria sebesar 45,5%. Secara nasional, hanya 33,7% penderita malaria yang mendapatkan obat ACT. Analisis lanjut data Riskesdas 2013 dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran variasi pengobatan malaria rumah tangga di enam provinsi di Indonesia, yaitu Bengkulu, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Barat. Data nama, jenis, dan sumber obat, serta karakteristik rumah tangga dianalisis bivariat. Sebanyak 287 rumah tangga yang memenuhi kriteria menyimpan dan menggunakan obat untuk pengobatan malaria yang dianalisis. Hasil menunjukkan 66 jenis obat dengan sumber yang variatif, lima belas jenis obat di antaranya merupakan obat antimalaria, (yaitu ACT, klorokuin/CQ, dan sulfadoxin-pyrimethamin/SP). Sebagian besar obat malaria diperoleh dari apotek dan toko obat/warung, baik di perkotaan dan pedesaan. Sebagian besar rumah tangga dengan status ekonomi terendah lebih banyak memilih toko obat/warung (46,7%) untuk mendapatkan obat malaria. Sebaliknya, bagi kelompok sosioekonomi teratas, apotek merupakan pilihan untuk mendapatkan obat malaria (48,6%). Penelitian mengungkapkan masih adanya rezim obat antimalaria resisten (CQ dan SP) yang beredar hampir di semua sumber, termasuk fasilitas kesehatan formal dan tenaga kesehatan. Bervariasinya obat yang dikonsumsi masyarakat dalam mengobati malaria mendorong perlunya peningkatan monitoring, evaluasi, dan penguatan partisipasi lintas-sektoral dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat, keterlibatan masyarakat, keterlibatan sektor swasta, dan didukung dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam manajemen suplai obat standar di layanan kesehatan primer. Bentuk intervensi yang tepat diperlukan untuk meningkatkan cakupan pengobatan malaria di Indonesia. Kata Kunci: malaria, antimalaria, variasi obat, sumber obat, Indonesia