Abstract
ABSTRAK Data kematian dan pemahaman masyarakat terhadap penyebab kematian sangat penting bagi dalam menentukan kebijakan kesehatan berbasis bukti. Artikel ini merupakan penelitian kualitatif tentang penyebab kematian dengan tujuan untuk mengetahui sikap budaya terkait kematian termasuk kepercayaan yang menonjol dan sensitif yang muncul pada saat berduka/kehilangan di Kota Solo dan Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan focus group discussion (FGD) terhadap pemuka agama, petugas kesehatan, bidan, tokoh masyarakat, guru,dan pengusaha setempat. Wawancara semi-terstruktur terhadap informan kunci dari keluarga yang sedang berduka dan tidak sedang berduka. Dilakukan pula observasi terhadap status sosial dan ekonomi serta pola aktivitas masyarakat di kedua lokasi. Hasil analisis data di kedua lokasi menunjukkan bahwa kejadian kematian dan aktivitas yang mengikutinya bersifat agamis dan duniawi. Kepercayaan pada adanya kehidupan setelah mati dan pentingnya kecepatan menguburkan, dengan semua hal yang berhubungan dengan penanganan dan pengurusan jenazah, menjadi ranah keagamaan. Prosedur untuk mendapatkan sertifikat kematian berada pada kerangka hukum yuridis dan sebagai pendorong untuk pemenuhan kebutuhan data mengenai penyebab kematian, mendapatkan persetujuan legal dan finansial yang dihubungkan dengan kematian anggota rumah tangga, misalnya untuk masalah warisan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa otopsi verbal untuk otopsi verbal sebaiknya dilakukan tujuh sampai tiga puluh hari setelah peristiwa kematian; dan dilakukan oleh petugas kesehatan yang didampingi oleh pengurus wilayah setempat (RT/RW). Koordinasi antara seluruh pihak terkait (pemuka agama, tokoh masyarakat, pemerintah daerah/petugas kesehatan, bidan) dalam penanganan kematian cukup baik. Kata kunci: Budaya, persepsi, masyarakat ABSTRACT Mortality data and understanding death patterns are considered to be essential for developing evidence-based health policy. This article is a qualitative research, examines current cultural perceptions of death in Indonesia that include a prominent and sensitive belief that emerged at the time of mourning/loss in Solo City and Pekalongan District, Central Java Province. The data collection was done by Focus group discussions (FGDs) with mosque officials, local health workers, local midwives, and staff of the community council, local school teachers, and local business people. Semi-structured interviews (SSIs) are conducted with key informants of bereaved and non-bereaved household. Also observation of the local economy and community activity patterns, modes of subsistence, cultural beliefs. The study revealed thatdeath notification and activities subsequent to a death fall into two parallel domains, the religious and the secular. Beliefs in the afterlife and the imperative of a speedy burial, with all that this implies in terms of treatment and disposal of the corpse, belong to the religious domain. The procedure for obtaining a death certificate occurs in a juridical framework also as the driving force to meet the needs of data on causes of death, acquire legal and financial arrangements associated with the death of household members, for example for inheritance issues. A further issue of interest was the timing of the verbal autopsy (VA). Ideally the VA should occur in the home of the deceased’s family within 7-30 days after the death, and be conducted by a health official possibly accompanied by an office-bearing member of the local community. Coordination between all parties involved in the treatment of death is quite feasible. Keywords: Culturally, perception, communities